Rabu, 15 Juni 2016

sebuah cerita peradilan, di mushallah pengadilan.

Saat pengacara dan hakim duduk di selasar mesjid, kami saling melepas baju yang dipakai saat sidang berlangsung
Saya lagi ga ngehakim nih mas yaah, jadi jangan cerita perkara, hahahaha, celetuk seorang hakim, eh maksud saya kawan, yang terbilang masih muda
Kami lalu pasang baju almamater masing masing, universitas jember ternyata kawan ini, lama cerita ngalur ngidul tiba-tiba pak ketua datang, ikut nimbrung, sambil buka name tag beliau ikut bergaul dengan anak muda yang lagi cerita gak jelas soal ilmu hukum
Datangnya seorang senior sepuh dari univeritas jember membuat pembicaraan mengenai ilmu hukum dan peradilan pun tidak bisa dielakkan, tapi dalam konteks kita-kita sebagai sarjana hukum,
senior sepuh memulai cerita soal peradilan yang kian jauh dari due procces of law, khususnya dikota-kota besar, bahwa dikota besar hari ii, atas nama peradilan cepat, dn biaya ringan, hak-hak hukum tersangka dipangkas, apalagi bagi perkara yang menjadikan orang berbudget kecil sebagai terdakwa
hari ini lebih enak belajar di daerah yang perkaranya kurang, katanya, karena kalo di daerah yang perkaranya numpuk seperti kota besar atau satelit langsung dari kota besar, perkara itu dijalanin dengan cepat, apalagi kalo gak pake pengacara, habislah orang itu
dibayangin aja, kalo dakwaan sampe putusan cuman dipapas dua hari, saksi ala kadarnya, bukti ala kadarnya, tapi dipaksa putus bersalah, kan edaan
kalo di kota yang perkaranya dikit, satu perkara bisa dua bulanan, tapi kita susah cari pengaara yang mau kekota kecil apalagi bantuin orang kecil
banyak yang gak sadar, kalo orang kecilpun ngerasa kejepit, bisa punya duit juga kok buat bayar penasehat hukum
saya Cuma bisa berkelakar, kayak saya kali pak yah, men kesini sambil belajar, Hahahahaha,
 Dan panitera pun tiba-tiba datang ngajakin kita lanjut kerja, soalnya kasian, di sel pengadilan dan di tempat tunggu perkara perdata panas, kan lagi puasa.

Kita semua Pasang kuda2, eh maksudnya tanda pengenal masing-masing, dan melnjutkan kerjaan yang tertunda. 

Senin, 06 Juni 2016

opini : ribut-ribut di sebuah kampus bilangan saumata makassar

.
kemrin pada hari sabtu adalah hari liburan saya, kemalino, dimana untuk mencapai kota bunga ini
harus melewati sebuah kampus di bilangan jalan saumata, dimana tepat didepan kampus ini saya
mendapati keramaian yang tidak biasanya ada di kampus tersebut, saya membatin, ini ada apa?

lalu senin ini saya kembali beraktifitas seperti biasa dimana malam harinya saya berjibaku dengan FB,sebuah media sosial yang saya pakai untuk media promosi dan marketing buat kerjaan, dimana pada media sosial ini

saya mendapat kabar bahwa, dibilangan kampus yang saya lewati pada saat liburan terjadi masalah antara mahasiswi dan wakil dekan III sebuah fakultas di kampus islam tersebut

dalam batin yang tergelitik rasa ingin tahu khas pengacara, saya lalu mencari informasi dan berita
mengenai masalah antara mahasiswa dan wakil dekannya tersebut, yang ternyata menurut salah satu berita

sang mahasiswi merasa telah dilecehkan, oleh sang wakil dekan, dengan cara digoda, dan dikode-kode oleh sang wakil dekan

naluri mahasiswa hukum yang dicampur naluri pekerja hukum kemudian memaksa saya mencari makna dari kejadian yang terberitakan oleh media onlie ini, saya mencoba mencari-cari makna dari kejadian ini khusunya makna dari pemberian embel-embel cabul pada seorang pendidik


saya lalu menemukan bahwa cabul adalah sebuah kata yang dapat di analisis menggunakan
berbagai macam interpretasi guna menemukan maksud dan makna dari kata cabul itu sendiri dimana secara konvensionalkata cabul dapat ditemukan maknanya dalam kamus besar bahasa indonesia yang mendefinisikan kata cabul sebagai kejidan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan) sedangkan kata susila berarti baik budi bahasanya; beradab; sopan dimana kata cabul ini ber konotasi dengan kata me·le·ceh·kan v memandang rendah (tidak berharga); menghinakan; mengabaikan; pe·le·ceh·an n proses, perbuatan, cara melecehkan: seorang hakim harus bertindak bijaksana supaya tidak terjadi ~ hukum


sedangkan dalam ilmu hukum kata cabul mengandung makna Menurut R. Soesilo dalam penjelasan Pasal 289 KUHP, yang dimaksudkan dengan cabul adalah segala perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, (maaf) misalnya cium- ciuman, maraba- raba anggota kemaluan, maraba-raba buah dada dan sebagainya, sedangkan pelecehan sendiri tidak dikenal dalam KUHP,

hmm...
nampaknya aktifitas menggoda yang dilakukan oleh laki-laki terhadap seorang wanita tidak masuk dalam rangkaian makna cabul maupun pelecehan, kecuali diluar surat yang dibuat mahasiswi itu dijelaskan terdapat detil kejadian lain, yang dapat disebut sebagai sebuah pelanggaran susila atau norma sosial,

nampaknya setelah membaca surat sang mahasiswi yang dilansir dari sebuah berita on-line, yang menyebut tangannya dipegang dan merasa digoda oleh dosen yang membimbingnya, terlihat bahwa pelecehan ini adalah opini dari penulis surat yang mendefinisikan godaan dari lelaki kepada wanita adalah sebuah pelecehan, dan berbasis pada aturan moral yang diyakininya bahwa dosen tidak boleh menggoda mahasiswi,

pada kenyataannya menggoda adalah upaya lelaki atau wanita memikat lawan jenis dimana perbuatan ini adalah tidakan alami

ketika seseorang mencari pasangan dan mencoba menggoda lawan jenisnya, selama dalam batasan wajar dan tidak masuk delik dalam KUHP tentunya

yang aneh bagi saya dalam kejadian rame-rame di kampus ini adalah mengapa tidak ada yang menempuh jalur hukum saja, atau jalur damai, dari pada ramai-ramai terus-terusan, saling serang lewat media dan berujung pada keributan

bagi pak dosen. kalau merasa tidak melakukan tindak pelecehan dalam norma sosial dan pencabulan dalam norma hukum yah lapor lah, penecmaran nama baik,

bagi mahasiswi yang merasa perbuatan dosennya sudah masuk pelecehan seksual dan pencabulan yah laporlah kepolisi

jika kepentingannya adalah pencarian kebenaran
biarkan kasus diselidik dan disidik, oleh penyidik, apakah perbuatan itu masuk aktegori perbuatan pencabulan atau bukan, pernyataan dirinya dilecehkan oleh oknum dosen apakah masuk pencemaran nama baik atau bukan

karena pak rektor bukan penyidik PPNS, dan media bisa jadi hakim yang terlalu adil atau lalim ketika membangun opini, dimana hukuman paling beratnya adalah opini.

jika kepentingannya adalah politis
biarkan saja bergulir begini

itu saja dulu